Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Oktober 2015

Beberapa Tokoh Ulama Tasikmalaya

Tokoh Ulama Tasikmalaya - Ulama adalah perwaris para nabi, dan ulama merupakan pelita bumi. Sekarang. Ulama adalah kepercyaan umat Rasulullah SAW, Gelora perhatian ulama ialah memberi perlindungan kepada umat, Ulama adalah pemegang amanat Allah SWT atas Makhluk-Nya, Ulama adalah pemimpin panutan umat, itulah Ulama.
Pada hari ini saya akan membuat sebuah artikel dimana saya akan merangkum di antara antara Tokoh Ulama Tasikmalaya, yang dimana sebeleumnya saya sudah membuat artikel yang berkaitan tentang Sosok Ulama Tasikmalaya yang tidak akan pernah dilupakan yaitu Kh Choer Affandi. Mungkin kita semua sudah tahu sosok tokoh ulama tasikmalaya yang pernah melawan penjajah, dan masih banyak lainnya oleh karena itu disini saya akan menulis Beberapa Tokoh Ulama Tasikmalaya, yaitu sebagai berikut:

1. KH Zainal Mustafa
Tokoh Ulama Tasikmlaya yang pertama saya bahas adalah KH Zainal Mustafa, beliau lahir di Desar Cimerah, Singaparna Kabupaten Singaparna, beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Sukamanah Tasikmalaya. Beliau merupakan Tokoh Ulama Tasikmalaya yang dahulunya berjuang untuk menyebarkan Agama Islam dan menentang melawan para kafir Belanda dan Jepang, Beliau pernah di tangkap bahkan dipenjara oleh penjajah belanda dan jepang, karena terang-terangan melawan pemerintahan kolonial belanda dan jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Mustafa. 
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

2. KH Rukhiyat
KH. Ruhiat adalah tokoh terkenal pada zamannya karena dialah pendiri pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Namun generasi saat ini kurang lagi mengenal ketokohannya. Bahkan puteranya yaitu KH. Ilyas Ruhiat lebih dikenal apalagi setelah menduduki jabatan tertinggi di NU sebagai Rais Aam. Hal itu bisa dimengerti, kiai sepuh tersebut telah meninggal 29 tahun lalu. Tanggal 17 Dzulhijjah 1426 H yang bertepatan dengan 17 Januari 2006, adalah haul (peringatan hari wafat) ke-29 KH. Ruhiat.
Pesantren Cipasung saat ini merupakan pesantren terbesar dan paling berpengaruh di Jawa Barat. Perannya dalam penyiaran agama, pengembangan masyarakat dan menjaga harmoni sosial sangat besar. Selain keteguhannya mengembangkan pesantren yang responsif pada perkembangan dunia pendidikan, pada masa penjajahan, Ajengan Ruhiat juga seorang patriot yang mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Melihat kemajuan pesantren yang baru didirikan ini, penjajah Belanda sangat khawatir kedudukannya akan  terganggu. Maka pada tahun 1941 M, K.H. Ruhiat ditangkap bersama K.H. Zainal Musthafa dan ditahan di penjara Sukamiskin selama 53 hari. Selama beliau ditahan, tugas pengajian dijalankan oleh K.H. Saeful Millah (menantunya) yang dibantu oleh Ajengan Abdul Jabbar. Hanya beberapa bulan beliau menghirup udara bebas, tiba-tiba ditangkap lagi bersama sepuluh Kiyai lainnya dan ditahan di penjara di Ciamis, yaitu pada tanggal 6 Maret 1942. namun seiring dengan dikalahkannya penjajah belanda oleh tentara Jepang, maka pada tanggal 9 Maret 1942  beliau dan sepuluh Kiyai lainnya dibebaskan.
Pada zaman Jepang, pendidikan untuk santri putri pun mengalami kemajuan, sehingga pada tahun 1943 didirikan kursus Muballighoh, sebagai wadah pelatihan berpidato bagi para santri putri. Pada masa pemberontakan Sukamanah yang dipimpin oleh K.H. Zainal Musthafa pada tahun 1944 M, K.H. Ruhiat dan beberapa kiyai lainnya ditangkap dan ditahan di penjara Tasikmalaya selama dua bulan. Pada masa itu, pengajian dijalankan oleh K.H. Saeful Millah dan K.H. Bahrum.
Ketika situasi keamanan belum stabil pasca kemerdekaan, terutama ketika datang lagi Agresi Militer Belanda ke II, maka cobaan pun kembali menimpa Pesantren Cipasung. Pada tahun 1949, ketika K.H. Ruhiat dan tiga orang santrinya sedang melaksanakan shalat Ashar, tiba-tiba pasukan Belanda datang dan melepaskan tembakan ke arahnya. Berkat pertolongan Allah, K.H. Ruhiat selamat, namun dua orang santrinya ( Abdurrozak dan Ma’mun ) gugur sebagai syuhada dan satu yang lainnya ( A’en ) mengalami luka berat di kepala. Bahkan pada saat itu santri yang berada di asrama pun ada yang terkena tembakan, lalu gugur sebagai syuhada, yaitu Abdul ‘Alim dan Zenal Muttaqin. Kemudian K.H. Ruhiat ditangkap dan ditahan di penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan. Kegiatan pengajian di Pondok Pesantren Cipasung dijalankan oleh K.H. Saeful Millah bersama K.H. Moh. Ilyas Ruhiat, sampai beliau dibebaskan pada tanggal 27 Desember 1945.
3. KH Choer Affandi
KH. Choer Affandi bernama kecil Onong Husen, lahir pada hari Senin tanggal 12 September 1923 M di kampung Palumbungan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kewedanan Cijulang Ciamis, dari Pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’I yang masih mempunyai keturunan Raja Mataram dan Siti Aminah binti Marhalan yang mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut. KH. Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunyai kakak yang bernama Husein (Darajat) dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih).
Menurut KH. Abdul Fatah (Aa), dalam darah Onong Husen mengalir darah bangsawanan dan darah ulama yang dominan dalam membentuk kepribadian KH. Choer Affandi. Hal ini, terbukti dengan sikap Uwa yang sangat tertarik pada ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
Pada waktu itu ayah KH. Choer Affandi adalah pegawai Belanda. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi neneknya yang bernama Haesusi terhadap KH. Choer Affandi, sehingga setelah Onong Husen menamatkan pendidikan umumnya di HIS, maka pada tahun 1936 M neneknya membujuk Onong untuk mengaji di Pesantren KH. Abdul Hamid. Dan berikut merupakan Amanat dari Kh Choer Affandi.
4. KH Didi Abdul Majid
Selanjutnya Tokoh Ulama Tasikmalaya yang lainnya adalah KH Didi Abdul Majid beliau merupakan Tokoh Ulama Tasikmalaya yang membangun Pondok Pesantren Sulalatul Huda di Bojongsari, Paseh, Tasikmalaya. Dahlunya beliau pernah menjadi Santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda yang dibangun oleh gurunya Kh Choer Affandi. Beliau dikenal pemberani dalam melawan keburukuan hal itu terbukti disaat terdapat beberapa kejadian di Tasikmlaya.

Mereka adalah salah satu dari sekain banyaknya Tokoh Ulama Tasikmalaya yang sangat dikagumi dan diketahui oleh banyak orang. Mungkin hanya itu saja yang saya dapat saya sampaikan, apabila jika ingin menambahkan tokoh ulama tasikmalaya lainnya silahkan berkomentar. Mohon maaf bila ada salah penulisan.

Semoga Alloh SWT menerima ibadahnya dan ditempatkan di Surga besama Rasulullah SAW.. amiin

Minggu, 17 Agustus 2014

Jumat, 25 Juli 2014

Penyebab Ibadah Tidak Diterima dan Do'a Tidak dikabulkan

Penyebab Ibadah Tidak Diterima dan Do'a Tidak dikabulkan

Hari ini hari jum'at tadi jam 11:00 WIB ane pergi ke mesjid buat sholat jum'at, nah kan selalu ada ceramah alias khutbah ane dengerin tentang ceramahnya pak kiyai, baru kali ini ane khuysu denger ceramahnya kagak biasanya, hehe..  pak kiyai ngebawain ceramah yang menarik yaitu Penyebab Ibadah Tidak Diterima dan Do'a Tidak dikabulkan nah lansung saja.

Berikut hal hal yang dapat menyebabkan Ibadah tidak Diterima dan Do'a Tidak Dikabulkan:


1. Minum minuman keras/arak/khamar/mabuk
2. Tidak berkomunikasi dengan oranglain lebih dari 3 hari dikarenakan bermusuhan
3. Durhaka Kepada Orang Tua
4. Memakan Harta Haram
5. Tidak Ikhlas
6. Melakukan Ghibah
7. Meringan - ringakan Sholat



itulah hal hal yang dapat menyebabkan Ibadah tidak Diterima dan Do'a Tidak Dikabulkan. Maap kalo gak pake penjelasan soalnya panjang bener, tapi pasti agan tahulah gak perlu dijelasin, hihi sekian dulu gan =))

Rabu, 23 Juli 2014

Amanat Kh Choer Affandi Sesepuh Ulama Tasikmalaya

Amanat Kh Khoer Affandi Sesepuh Pesantren Tasikmalaya

KH. Choer Affandi Adalah seorang Sesepuh/Ulama besar dari Kabupaten Tasikmalaya (Manonjaya) beliau dikenal sebagai orang baik segalanya, dan beliau adalah guru dari Ulama ulama lainnya. Beliau lahir pada hari Senin tanggal 12 September 1923 M di kampung Palumbungan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kewedanan Cijulang Ciamis, dari Pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’I yang masih mempunyai keturunan Raja Mataram dan Siti Aminah binti Marhalan yang mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut.KH Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunyai kakak yang bernama Husein (Darajat) dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih).
Menurut KH. Abdul Fatah (Aa), dalam darah KH. Khoer Affandi mengalir darah bangsawanan dan darah ulama yang dominan dalam membentuk kepribadian KH. Choer Affandi. Hal ini, terbukti dengan sikap beliau yang sangat tertarik pada ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
dan Berikut adalah Amanat beliau:
1. Sholat awal waktu ber jama'ah
2. Jangan berhenti mencari ilmu
3. Jangan terjun ke dunia politik
4. Jangan berhenti mencari teman
5. Pertahankan aqidah ahlussunnah wal jama'ah
6. Lamun hayang maju ulah euren mikir
7. Lamun hayang maju kudu daek cape
8. Ulah embung di sebut bodo
9. Ulah embung di sebut sahandapeun
10.Sagala anu tumiba kadiri gara-gara diri
11.ubar diri aya di diri
12.Eweh nu nyaah kana diri kajaba anu boga diri
13.Harga diri kumaha diri
14.Ari ngitung kudu tihiji,ulah hayang ujung ujung angka salapan
15.Mun nyien pondasi tong sok maka mikiran kenteng
16.Senajan teu lumpat tapi ulah cicing
17.Sagede-gedena jalan syare'at,ulah matak ngurangan tawakal ka Alloh
18.Tong leumpang dina hayang,tong cicing dina embung,tapi kudu leumpang        dina kudu,kudu euren dina ulah
19.Tong lesot hate tina eling ka Alloh dina kaayaan kumaha wae,sedih,susah    jg bungah
20.Sarebu sobat saeutik teuing,hiji musuh loba teing

Minggu, 17 Februari 2013

Tokoh Tokoh Wali Songo

1. Maulana Malik Ibrahim [ Sunan Gresik]

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Beliau meninggal dunia pada tahun 1419. Dikenali juga sebagai Syekh Magribi. "Kakek Bantal" adalah juga sebutan oleh penduduk Jawa. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai yang juga merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein iaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Selama tiga belas tahun sejak tahun 1379 Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa atau sekarang dikenali Kamboja (Cambodia). Ia mempunyai seorang isteri dari putri raja dan mendapat dua orang anak iaitu Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.

Pada tahun 1392 iaitu setelah merasakan puas berdakwah di Kambodia, Maulana Malik Ibrahim berhijrah ke Pulau Jawa meninggalkan dengan meninggalkan keluarganya. Terdapat beberapa versi yang menyatakan bahwa kedatangannya disertai oleh beberapa orang. Daerah yang dituju bagi pertama kali adalah Desa Sembalo, sebuah daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Desa Sembalo kini adalah daerah Leran kecamatan Manyar iaitu sejauh 9 kilometer ke utara kota Gresik. Kegiatan pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan keperluan harian dengan harga yang murah. Selain itu, beliau juga menyediakan diri untuk mengobati pesakit yang memerlukan bantuan secara percuma. Sebagai seorang tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Kemungkinan juga permaisuri tersebut masih bersaudara kepada istrinya. Selain itu, beliau yang juga dikenali sebagai Kakek Bantal telah mengajar cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawahan iaitu satu kasta yang disisihkan dalam masyarakat dan budaya Hindu. Misi pertama beliau sangat berjaya untuk mencari tempat di hati masyarakat yang ketika itu dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sebelum meninggal dunia pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim sempat mendirikan tempat untuk pembelajaran agama di Leran. Jenazahnya dimakamkan di Desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2. Raden Rahmat [Sunan Ampel]:

Sunan Ampel adalah anak sulung Maulana Malik Ibrahim. Nama asalnya adalah Raden Rahmat dan dilahirkan di Campa pada 1401 Masehi. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, Surabaya (kota Wonokromo sekarang) adalah tempatnya bermukim dan menyibarkan agama Islam. Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 bersama adiknya iatu Sayid Ali Murtadho. Sebelum ke Jawa pada tahun 1440, mereka singgah dahulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, mereka melabuh dan berhijrah ke daerah Gresik. Seterusnya mereka ke Majapahit untuk menemui ibu saudaranya, seorang putri dari Campa yang bernama Dwarawati. Ibu saudaranya ini telah dipersunting oleh salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikurniakan beberapa orang anak lelaki dan perempuan. Diantaranya yang menjadi penerus tugas-tugas dakwah adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Ketika Kesultanan Demak iaitu 25 kilometer arah selatan kota Kudus hendak didirikan, Sunan Ampel turut bersama mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pada tahun 1475, Sunan Ampel telah mengesyurkan supaya Raden Fatah iaitu anak lelaki Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit) untuk menjadi Sultan Demak.

Di Ampel Denta, daerah yang dihadiahkan oleh Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh di Nusantara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Fatah. Para santri tersebut kemudian berdakwah ke berbagai pelosok di Pulau Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan akidah dan ibadah. Beliaulah yang mengenalkan istilah "Moh Limo" iaitu satu istilah dalam bahasa Jawa yang dimaksudkan sebagai "Tidak Mahu Lima Perkara" iaitu moh main (tidak bermain judi), moh ngombe (tidak meminum minuman keras), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengguna dadah dan narkotik) dan moh madon (tidak berzina). Sunan Ampel meninggal dunia dan disemadikan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya pada tahun 1481.

3. Raden Paku [Sunan Giri]

Sunan Giri lahir di Blambangan pada tahun 1442. Memiliki beberapa nama panggilan iaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Terdapat beberapa silsilah Sunan Giri yang berbeza. Ada pendapat mengatakan ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, iaitu putri dari Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW iaitu melalui keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut. Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabak penyakit di wilayah tersebut. Ia dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu dengan menghanyutkannya ke laut. Kemudiannya, bayi tersebut dijumpai oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal iaitu Nyai Gede Pinatih dan dinamakan bayi tersebut sebagai Joko Samudra. Ketika dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Apabila Sunan Ampel mengetahui latar belakang murid kesayangannya ini maka ia dihantar kepada Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tidak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal usul dan alasan mengapa dia dulu dibuang. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap mempunyai hubungkait dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

4. Raden Makdum Ibrahim [Sunan Bonang]

Beliau adalah anak Sunan Ampel yang juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada tahun 1465. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, seorang puteri adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang majoriti masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang, di sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Tengah sejauh 15 kilometer ke timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan, zawiyah atau pesantren yang kini dikenali dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tidak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah terpencil dan sukar untuk didakwahkan seperti di Tuban, Pati, Madura dan sehingga ke Pulau Bawean. Pada tahun 1525 beliau meninggal dunia di Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di Tuban iaitu di sebelah barat Masjid Agung. Sebelumnya, masyarakat Bawean dan Tuban telah berebutan jenazah. Sunan Bonang tidak seperti Sunan Giri yang memfokuskan fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tassauf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tassauf, seni, sastra dan arkitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang mahir mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafah 'cinta' ('isyq). Ia sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Mengikut Sunan Bonang, cinta bersama iman, pengetahuan intuitif iaitu makrifat dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara popular melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bekerjasama dan bersama dengan Sunan Kalijaga iaitu murid kesayangannya. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang banyak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi gaya dan nafas baru. Dialah yang menjadi pencipta gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan alam malakut. Salah satu karya Sunan Bonang adalah "Tombo Ati". Dalam pentas wayang kulit, Sunan Bonang adalah dalang yang sangat digemari penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan oleh Sunan Bonang sebagai peperangan antara penafian dan 'isbah atau peneguhan iman.

5. Raden Qasim [Sunan Drajad]

Sunan Drajat dilahirkan pada tahun 1470. Namanya semasa kecil adalah Raden Qasim, kemudiannya digelar Raden Syarifudin. Dia yang terkenal dengan kecerdasannya adalah anak dari Sunan Ampel dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Lamongan.

Setelah menguasai pelajaran dalam bidang agama islam, beliau menyebarkannya di desa Drajad di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia digelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun 1442/1520 masehi. Makam Sunan Drajat boleh ditemui atau dilawati dari Surabaya ataupun Tuban melalui Jalan Dandeles (Anyer - Panarukan), dan boleh juga melalui Lamongan.

Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Beliau menguasai kerajaan Demak selama 36 tahun.

Sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal, beliau sangat perihatin dengan rakyat miskin dengan terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial dan seterusnya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasinya lebih ditekankan pada etos kerja keras, menderma dan sedekah bagi membenteras kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usahanya kearah itu menjadi lebih mudah kerana Sunan Drajat memperoleh kekuasaan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas segala usaha dan kejayaannya menyebarkan agama Islam dan usahanya membasmi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau diberi gelaran Sunan Mayang Madu dari Raden Patah, Sultan Demak I pada tahun 1442 atau 1520 Masehi.

6. Raden Said [Sunan Kalijaga]

Sunan Kalijaga adalah "wali" yang paling banyak disebut oleh masyarakat Jawa. Dilahirkan pada tahun 1450 dari bapanya yang bernama Arya Wilatikta iaitu Adipati Tuban berketurunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Ketika itu Arya Wilatikta telah menganut agama Islam. Nama semasa kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Terdapat berbagai versi mengenai asal-usul nama Kalijaga yang digunakannya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah bermukim di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjukkan statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Semasa hidupnya Sunan Kalijaga mencapai umur lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia mempunyai pola yang sama dengan Sunan Bonang, mentor yang juga sahabat karibnya. Fahaman keagamaannya cenderung kepada "sufistik salaf" dan bukan sufi panteistik iaitu pemujaan semata. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai cara untuk berdakwah dan sangat bersesuaian dengan budaya tempatan. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauhkan diri jika diserang dengan pendirian dan pegangannya. Maka mereka harus didekati secara beransur-ansur iaitu mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga sangat berkesan. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai cara berdakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton dan masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Cara berdakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang dikenali Kotagede Yogya). Jenazah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu iaitu di selatan Demak.

7. Syarif Hidayatullah  [Sunan Gunung Jati]

Sunan Gunung Jati dilahirkan pada tahun 1448. Ibunya adalah Nyai Rara Santang iaitu putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa. Ayahnya pula adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir berketurunan Bani Hasyim dari Palestin. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Setelah berdirinya Kesultanan Bintoro di Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Begitupun banyak kisah yang tidak munasabah yang telah dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj dan bertemu dengan Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semuanya hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati menggunakan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan agama Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangunkan infrastruktur seperti jalan-jalan yang menghubungkan antara wilayah. Bersama dengan anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Beliau diterima sebagai bakal Kesultanan Banten. Sebaliknya pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mengundurkan diri dari jawatan yang dipegangnya dan hanya ingin meneruskan dakwah sahaja. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal dunia di Cirebon pada usia 120 tahun. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, 15 kilometer sebelum memasuki kota Cirebon dari arah barat.

8. Jaffar Shadiq [Sunan Kudus]

Namanya senasa kecil adalah Jaffar Shadiq. Beliau adalah anak dari pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah iaitu adik Sunan Bonang, anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga ke Gunung Kidul. Cara berdakwahnya juga meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada budaya setempat. Cuma cara penyampaiannya lebih halus. Inilah yang menyebabkan para wali yang lain meminta beliau berdakwah ke Kudus yang dikatakan sangat sukar untuk ditembusi. Gaya dan caraa Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal ini dapat dilihat dari arkituktur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran untuk berwudhu yang melambangkan delapan jalan Budha iaitu satu pendekatan dan kompromi oleh Sunan Kudus. Suatu ketika ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya dengan cara ia sengaja menambatkan lembunya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Penganut Hindu sangat mengagungkan lembu, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang bererti "Lembu Betina". Sehingga kini, sebahagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih lembu. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara bersiri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kisah selanjutnya. Inilah satu pendekatan yang nampaknya seperti memasukkan cerita 1001 malam dari Khalifah Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat masyarakat. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut sama berperang di Demak diantara Sultan Prawata melawan Adipati Jipang iaitu Arya Penangsang.

9. Raden Prawoto [Sunan Muria]

Sunan Muria adalah anak kepada Dewi Saroh iaitu adik kandung Sunan Giri yang juga merupakan anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria iaitu 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya iaitu Sunan Kalijaga. Begitupun, perbezaan dengan ayahnya adalah Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Beliau bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan cara bercocok tanam, berdagang dan menjadi nelayan adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai orang tengah dalam sebarang konflik di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia sangat dikenali dengan mempunyai kepribadian yang mampu memecahkan berbagai masalah walaupun ia sangat rumit. unan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya adalah melalui seni iaitu dari lagu Sinom dan Kinanti .

Mengenal Wali Songo



"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha